Laman

Jumat, 26 Juli 2013

Pengobatan Diabetes


Pengobatan khusus diabetes dengan terapi lintah dan herbal.

Terapi lintah sangat baik untuk penyembuhan penyakit diabetes, terutama pada kaki yang sudah kebas atau sering kesemutan, kaki borok, kaki bengkak, dan memperbaiki jaringan darah di kaki yang terkena diabates.

Biaya terapi lintah dan herbal khusus diabetes Rp.300.000. sekali terapi pertama.

hubungi Pak Syarif

Tlp.021-75907170 / sms 08119192774

Alamat : Ciputat raya,Jl.H.Goden ujung Rt.08/011 no.23b. Pondok pinang keb.lama jakarta selatan 12310

Buka khusus diabetes. tiap hari senin dan jum'at . jam 09.00 - 17.00 wib

Senin, 04 Maret 2013

Menjaga Keselamatan Kalbu Dengan Cara Menjaga Kesucian Jiwa


Permisalan itu adalah kandungan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam,
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, akan menjadi baik pula seluruh jasadnya. Apabila daging itu rusak, akan menjadi rusak juga seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah kalbu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab t mengatakan, “Hadits di atas menerangkan bahwa kebaikan perilaku seorang hamba pada anggota badannya, jauhnya dia dari hal-hal yang haram dan syubhat, adalah seukuran/sebanding dengan kebaikan gerakan kalbunya.”
“Tidaklah iman seorang hamba akan istiqamah hingga kalbunya istiqamah. Dan kalbunya tidak akan istiqamah hingga lisannya istiqamah.” (Sahih, HR. Ahmad, lihat ash-Shahihah no. 2841)
Istiqamahnya iman artinya istiqamahnya amalan anggota badan, sementara itu anggota badan tidak akan istiqamah selain dengan keistiqamahan kalbu. Adapun makna keistiqamahan kalbu adalah dipenuhinya kalbu itu dengan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, mencintai ketaatan kepada-Nya, dan benci kepada kemaksiatan terhadap-Nya. Demikian keterangan Ibnu Rajab t.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah menggambarkan akibat kebaikan kalbu atau kerusakannya dalam sebuah hadits,
“Godaan-godaan dosa ditawarkan kepada kalbu-kalbu seperti (anyaman) tikar, sehelai demi sehelai. Kalbu mana pun yang menyerapnya, maka akan tertitik padanya sebuah noktah hitam. Adapun kalbu mana pun yang menolaknya, maka akan tertitik padanya titik putih. Akhirnya, akan menjadi dua macam kalbu, ada yang putih bagaikan batu yang halus (tidak ada kotoran yang hinggap, -pen.) sehingga tidak mencelakakannya godaan-godaan apa pun selama langit dan bumi ada. Sementara itu, kalbu yang lain hitam kelabu (dan) bagaikan gelas yang terbalik. Ia tidak mengenal hal yang baik dan tidak mengingkari hal yang mungkar. Ia tidak mengetahui selain apa yang diserap oleh hawa nafsunya.” (Sahih, HR. Muslim)
Sedemikian rupa bahayanya kalbu ketika rusak, benar-benar membuat rusak amalan. Begitu pula ketika kalbu itu baik, benar-benar membuat baik segala amalan.
Lantas, apa yang memengaruhi kalbu sehingga menjadi baik atau menjadi jelek? Jiwa, itulah yang memengaruhinya. Ketika jiwa baik, kalbu akan baik. Ketika jiwa buruk, kalbu pun akan menjadi buruk.
Ibnul Qayyim t menjelaskan, “Sesungguhnya seluruh penyakit kalbu itu muncul dari arah jiwa. Segala benih rusak tertuang padanya. Darinya, merebaklah kepada anggota badan. Yang pertama terkena adalah kalbu….” (Ighatsatul Lahafan hlm. 82)
Karena pengaruh jiwa ini, kalbu terbagi menjadi tiga.
1. Kalbu yang selamat, hidup sehat.
2. Kalbu yang sakit, hidup namun sakit.
3. Kalbu yang mati.
Kalbu yang hidup sehat disebut juga al-qalbu as-salim, kalbu yang selamat. Ia adalah kalbu yang selamat dari segala nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah Subhanahu wa ta’ala, selamat dari segala syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan berita-Nya, sehingga selamat dari peribadahan kepada selain-Nya dan selamat dari berhukum kepada selain Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam….
Ibadahnya murni untuk Allah Subhanahu wa ta’ala. Niat, cinta, tawakal, taubat, tunduk, takut, berharap, dan amalnya pun hanya untuk-Nya. Apabila ia mencintai, ia cinta karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Apabila ia benci, benci pun karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Apabila memberi, ia memberi karena-Nya, dan apabila tidak memberi, ia juga tidak memberi karena-Nya. Bahkan, tidak hanya ini, sampai dia selamat dari mematuhi dan berhukum kepada siapa saja selain Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sehingga kalbunya meyakini bersamanya sebuah keyakinan yang kokoh untuk berteladan hanya kepadanya saja, tidak kepada selainnya, siapa pun dia baik dalam hal berkata maupun beramal….
Kalbu yang sakit, adalah kalbu yang memiliki kehidupan, namun berpenyakit. Dia memiliki dua unsur. Sesekali, unsur kehidupan yang mengisinya, dan pada kesempatan yang lain unsur penyakit yang mengisinya. Kalbu tersebut tergantung kepada unsur mana yang dominan menguasainya. Ada padanya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, keimanan terhadap-Nya, dan keikhlasan kepada-Nya, serta tawakal kepada-Nya. Ini menjadi unsur kehidupannya. Akan tetapi, ada juga padanya cinta syahwat, mendahulukannya, serta semangat untuk memperolehnya. Ada pula padanya, dengki, sombong, bangga diri, senang unggul (merendahkan yang lain), merusak di bumi dengan kepemimpinannya, yang itu semua adalah unsur kehancurannya.
Jadi, kalbu ini diuji di antara dua penyeru: penyeru pertama mengajaknya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta negeri akhirat; penyeru kedua mengajaknya kepada dunia. Ia akan menyambut seruan yang pintunya paling dekat kepadanya dan yang lebih dekat bertetangga dengannya. (Diringkas dari keterangan Ibnul Qayyim t)
Tentang kalbu yang mati, Ibnul Qayyim menyebutnya kering dan mati. Ia adalah kalbu yang tiada kehidupan padanya. Ia tidak mengenal Rabbnya, tidak mengibadahi-Nya dengan perintah-Nya, hal-hal yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Ia justru senantiasa berdampingan dengan nafsunya dan kelezatannya walaupun mengandung kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Dia tidak akan peduli selama syahwat dan bagiannya terpenuhi. Allah Subhanahu wa ta’ala ridha atau murka (ia tidak peduli). Dia telah menghambakan dirinya kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala dengan cinta, takut, harap, ridha, marah, pengagungan dan penghinaan dirinya.
Kalau dia mencintai, maka cinta itu demi nafsunya. Kalau dia membenci, benci itu demi nafsunya pula. Kalau ia memberi, ia memberi demi nafsunya, sedangkan kalau ia tidak memberi, pun karena nafsunya. Hawa nafsunya lebih ia utamakan dan lebih ia cintai daripada Rabbnya. Hawa nafsu menjadi pemimpinnya. Syahwat menjadi pemandunya. Kebodohan menjadi pengemudinya. Kelalaian menjadi tunggangannya. Pikirannya terbenam dalam usaha memperoleh kepentingan-kepentingan duniawinya, tertutup oleh mabuk cinta nafsu dan dunia.
Dari jauh ia diseru menuju Allah Subhanahu wa ta’ala dan negeri akhirat, namun tidak mau menyambut seruan sang penasihat yang berkeinginan baik. Ia justru mengekor di belakang setiap setan yang durhaka. Dunialah yang membuatnya cinta atau benci. Nafsulah yang membuatnya tuli dan buta selain kepada kebatilan….
Berbaur dengan pemilik kalbu ini adalah penyakit. Bergaul dengannya adalah racun. Duduk-duduk bersamanya adalah kebinasaan. (Ighatsatul Lahafan)
Pemilik kalbu ini tidak akan selamat. Pemilik kalbu yang sakit dekat kepada kehancuran. Tidak ada yang benar-benar selamat di hari kiamat selain pemilik kalbu yang salim, yang datang kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengannya,
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, melainkan orang-orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang bersih.”(asy-Syu’ara: 88—89)
Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kekokohan dalam agama ini, dan agar bertekad untuk selalu terbimbing. Aku juga memohon untuk bersyukur atas nikmat-Mu, kebaikan dalam ibadah kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu kalbu yang selamat dan lisan yang jujur. Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau ketahui, serta berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampunan atas dosa yang Engkau ketahui.” (Sahih, HR. an-Nasa’i, lihat ash-Shahihah no. 3228)
Tentu sangat pantas bagi kita untuk senantiasa memanjatkan doa ini. Al-Hasan t mengatakan,
“Obatilah kalbumu. Sesungguhnya, kebutuhan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya itu dalam hal kebaikan kalbunya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Macam-Macam Jiwa
“Sesungguhnya, jiwa itu satu. Akan tetapi, jiwa tersebut memiliki beberapa sifat sehingga diberi nama ditinjau dari tiap-tiap sifatnya.” (ar-Ruh, Ibnul Qayyim t)
“Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyifati jiwa dalam al-Qur’an dengan tiga sifat: al-muthma’innah, al-ammarah bis su’, dan al-lawwamah.” (Ighatsatul Lahafan)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
“Hai jiwa yang tenang (al-muthma’innah), kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”(al Fajr: 27—30)
Jiwa yang muthma’innah adalah yang tenteram menuju Rabbnya, tenteram dengan berzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan tenang ketika dekat dengan-Nya. Jiwa itulah yang dipanggil saat wafatnya,
“Hai jiwa yang tenang (al-muthma’innah). Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27—28)
Ibnu Abbas c menafsirkannya, “Maksudnya, yang membenarkan.”
Qatadah t mengatakan, “Jiwanya tenteram dengan janji Allah Subhanahu wa ta’ala.”
Hakikat ketenteraman adalah ketenangan dan kemapanan. Dia tenang menuju Rabbnya dan taat kepada-Nya, mengikuti perintah-Nya, dan selalu mengingat-Nya. Ia tidak merasa tenteram kepada selain-Nya, namun tenteram dengan cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, serta mengingat-Nya. Ia tenteram dengan perintah-Nya, larangan-Nya, dan berita-Nya.
Ia tenteram dengan perjumpaan dengan-Nya dan janji-Nya. Ia pun tenteram dengan mengimani hakikat nama-nama dan sifat-Nya, tenteram dengan ridha kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul. Ia tenteram dengan qadha dan qadar-Nya, tenteram dengan perlindungan dan jaminan-Nya. Jiwa tersebut tenteram dengan keyakinan-Nya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah satu-satu-Nya Rabbnya, sesembahannya, tujuan ibadahnya, Penguasanya, yang mengurusi segala urusannya, dan ke sanalah tempat kembalinya, serta ia tidak dapat lepas darinya walau sekejap mata.
Adapun jiwa ammarah bis-su’, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Ammarah bis-su’, yakni yang sering memerintahkan kepada yang jelek. Jadi, jiwa ini memiliki sifat yang berlawanan dengan jiwa yang muthma’innah. Jiwa ini memerintahkan pemiliknya sesuai dengan kemauan nafsunya. Nafsu yang melampaui batas, mengikuti yang batil. Ia menjadi tempat mangkal setiap kejelekan. Kalau pemiliknya tunduk kepadanya, ia akan memerintahnya kepada setiap yang jelek.
Adapun jiwa lawwamah, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri (al-lawwamah).” (al-Qiyamah: 2)
Sa’id bin Jubair t pernah bertanya kepada Ibnu Abbas c, “Apa maksudnya lawwamah?” Beliau menjawab, “Yaitu jiwa yang selalu mencela dirinya.”
Mujahid t mengatakan, “Yaitu jiwa yang menyesali apa yang telah berlalu dan mencela dirinya karena itu.”
Ibnu Abbas c mengatakan juga, “Setiap jiwa akan mencela dirinya pada hari kiamat. Jiwa yang baik mencela dirinya karena tidak memperbanyak berbuat baik. Adapun jiwa yang jelek mencela dirinya karena tidak kembali dari kejelekannya.”
Al-Hasan t mengatakan, “Sesungguhnya, seorang mukmin—demi Allah—engkau tidak melihatnya melainkan dia mencela dirinya dalam segala kondisi. Ia menganggapnya kurang dalam segala hal yang diperbuatnya sehingga ia menyesali dan mencela dirinya. Adapun orang yang jahat, dia akan terus berlalu tanpa mencela dirinya.” (Ighatsatul Lahafan)
Ibnul Qayyim t berkata, “Bisa jadi, sebuah jiwa terkadang menjadi jiwa yang ammarah, terkadang menjadi jiwa yang lawwamah, dan terkadang menjadi jiwa yang muthma’innah. Bahkan, dalam satu waktu dan satu saat, penilaian terhadap jiwa tersebut tergantung pada apa yang dominan menguasainya. Sifat muthma’innah adalah pujian dan ammarah bis-su’ adalah sifat tercela. Adapun lawwamah mengandung sifat pujian dan celaan, tergantung kepada jiwa itu, apa yang disesali dan dicelanya? (Ighatsatul Lahafan)
Keutamaan Jiwa yang Suci
Memiliki jiwa yang suci adalah karunia besar dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Jiwa itulah yang pantas meraih surga-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (an-Nazi’at: 40—41)
“(Yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (Thaha: 76)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia beribadah.” (al-A’la: 14—15)
As-Sa’di t mengatakan, “Sungguh, telah menang dan beruntung seseorang yang menyucikan dan membersihkan jiwanya dari syirik, kezaliman, dan akhlak yang jelek.”
Kesucian yang ia upayakan keuntungannya tidak lain kembali kepada dirinya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Kepada Allah-lah kembali (mu).”(Fathir: 18)
Ibnu Katsir t mengatakan, “Maksudnya, barang siapa yang beramal saleh, manfaatnya akan kembali kepada dirinya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
As-Sa’di t menafsirkan, “Barang siapa yang menyucikan dirinya dengan membersihkannya dari aib, seperti riya, sombong, dusta, curang, makar, menipu, kemunafikan, dan akhlak hina yang sejenisnya, lantas dia hiasi dirinya dengan akhlak yang indah seperti jujur, ikhlas, tawadhu’, lunak, suka menasihati sesama, bersihnya dada dari iri, dengki dan akhlak buruk selain keduanya, manfaat penyucian dirinya akan kembali kepadanya. Tujuannya akan sampai kepadanya. Amalannya tidak akan hilang sedikit pun.
Sementara itu, jiwa yang kotor pantasnya bertempat di neraka.
“Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 10)
As-Sa’di t mengatakan, “Maksudnya, mengotorinya dengan akhlak yang rendah, mendekatkannya kepada aib, melakukan dosa-dosa, meninggalkan sesuatu yang menyempurnakannya dan mengembangkannya, serta melakukan sesuatu yang membuatnya jelek dan kotor.” (Tafsir as-Sa’di)
Lihatlah bagaimana nasib pemilik jiwa yang tidak diberi kesucian oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah). Mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya kecuali api. Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (al-Baqarah: 174)
Maksudnya, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyucikan mereka dari akhlak yang rendah, dan mereka tidak memiliki amal saleh yang pantas untuk dipuji, diridhai, dan diberi balasan. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyucikan mereka karena mereka melakukan hal-hal yang menyebabkan ketidaksucian. Di antara sebab kesucian yang terbesar adalah mengamalkan kitabullah, menelusuri bimbingannya, dan mengajak kepadanya. Akan tetapi, mereka justru menyingkirkan kitabullah, berpaling darinya, memilih kesesatan daripada petunjuk, dan memilih siksa daripada ampunan. Tidak ada yang pantas bagi mereka selain neraka. Bagaimana mereka akan bersabar di neraka dan bagaimana mereka akan sanggup menahan siksanya? (Tafsir as-Sa’di)
Sumber :
Hubungan Jiwa dengan Kalbu
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 079
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)


Menjaga Keselamatan Kalbu Dengan Cara Menjaga Kesucian Jiwa

Kalbu, yang sebenarnya bermakna jantung (dalam bahasa Inggris: heart), adalah motor dari gerak langkah anggota badan. Ada yang mengatakan bahwa kalbu adalah raja bagi anggota badan. Anggota badan adalah tentaranya yang senantiasa patuh kepadanya, langsung bergerak karena taat kepadanya dalam rangka menjalankan perintahnya, tidak pernah durhaka atas perintahnya sedikit pun. Dengan demikian, apabila sang raja baik, tentaranya akan baik. Sebaliknya, apabila sang raja rusak, tentaranya juga akan rusak. (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Permisalan itu adalah kandungan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam,
Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, akan menjadi baik pula seluruh jasadnya. Apabila daging itu rusak, akan menjadi rusak juga seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah kalbu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab t mengatakan, “Hadits di atas menerangkan bahwa kebaikan perilaku seorang hamba pada anggota badannya, jauhnya dia dari hal-hal yang haram dan syubhat, adalah seukuran/sebanding dengan kebaikan gerakan kalbunya.”
“Tidaklah iman seorang hamba akan istiqamah hingga kalbunya istiqamah. Dan kalbunya tidak akan istiqamah hingga lisannya istiqamah.” (Sahih, HR. Ahmad, lihat ash-Shahihah no. 2841)
Istiqamahnya iman artinya istiqamahnya amalan anggota badan, sementara itu anggota badan tidak akan istiqamah selain dengan keistiqamahan kalbu. Adapun makna keistiqamahan kalbu adalah dipenuhinya kalbu itu dengan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, mencintai ketaatan kepada-Nya, dan benci kepada kemaksiatan terhadap-Nya. Demikian keterangan Ibnu Rajab t.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah menggambarkan akibat kebaikan kalbu atau kerusakannya dalam sebuah hadits,
“Godaan-godaan dosa ditawarkan kepada kalbu-kalbu seperti (anyaman) tikar, sehelai demi sehelai. Kalbu mana pun yang menyerapnya, maka akan tertitik padanya sebuah noktah hitam. Adapun kalbu mana pun yang menolaknya, maka akan tertitik padanya titik putih. Akhirnya, akan menjadi dua macam kalbu, ada yang putih bagaikan batu yang halus (tidak ada kotoran yang hinggap, -pen.) sehingga tidak mencelakakannya godaan-godaan apa pun selama langit dan bumi ada. Sementara itu, kalbu yang lain hitam kelabu (dan) bagaikan gelas yang terbalik. Ia tidak mengenal hal yang baik dan tidak mengingkari hal yang mungkar. Ia tidak mengetahui selain apa yang diserap oleh hawa nafsunya.” (Sahih, HR. Muslim)
Sedemikian rupa bahayanya kalbu ketika rusak, benar-benar membuat rusak amalan. Begitu pula ketika kalbu itu baik, benar-benar membuat baik segala amalan.
Lantas, apa yang memengaruhi kalbu sehingga menjadi baik atau menjadi jelek? Jiwa, itulah yang memengaruhinya. Ketika jiwa baik, kalbu akan baik. Ketika jiwa buruk, kalbu pun akan menjadi buruk.
Ibnul Qayyim t menjelaskan, “Sesungguhnya seluruh penyakit kalbu itu muncul dari arah jiwa. Segala benih rusak tertuang padanya. Darinya, merebaklah kepada anggota badan. Yang pertama terkena adalah kalbu….” (Ighatsatul Lahafan hlm. 82)
Karena pengaruh jiwa ini, kalbu terbagi menjadi tiga.
1. Kalbu yang selamat, hidup sehat.
2. Kalbu yang sakit, hidup namun sakit.
3. Kalbu yang mati.
Kalbu yang hidup sehat disebut juga al-qalbu as-salim, kalbu yang selamat. Ia adalah kalbu yang selamat dari segala nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah Subhanahu wa ta’ala, selamat dari segala syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan berita-Nya, sehingga selamat dari peribadahan kepada selain-Nya dan selamat dari berhukum kepada selain Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam….
Ibadahnya murni untuk Allah Subhanahu wa ta’ala. Niat, cinta, tawakal, taubat, tunduk, takut, berharap, dan amalnya pun hanya untuk-Nya. Apabila ia mencintai, ia cinta karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Apabila ia benci, benci pun karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Apabila memberi, ia memberi karena-Nya, dan apabila tidak memberi, ia juga tidak memberi karena-Nya. Bahkan, tidak hanya ini, sampai dia selamat dari mematuhi dan berhukum kepada siapa saja selain Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sehingga kalbunya meyakini bersamanya sebuah keyakinan yang kokoh untuk berteladan hanya kepadanya saja, tidak kepada selainnya, siapa pun dia baik dalam hal berkata maupun beramal….
Kalbu yang sakit, adalah kalbu yang memiliki kehidupan, namun berpenyakit. Dia memiliki dua unsur. Sesekali, unsur kehidupan yang mengisinya, dan pada kesempatan yang lain unsur penyakit yang mengisinya. Kalbu tersebut tergantung kepada unsur mana yang dominan menguasainya. Ada padanya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, keimanan terhadap-Nya, dan keikhlasan kepada-Nya, serta tawakal kepada-Nya. Ini menjadi unsur kehidupannya. Akan tetapi, ada juga padanya cinta syahwat, mendahulukannya, serta semangat untuk memperolehnya. Ada pula padanya, dengki, sombong, bangga diri, senang unggul (merendahkan yang lain), merusak di bumi dengan kepemimpinannya, yang itu semua adalah unsur kehancurannya.
Jadi, kalbu ini diuji di antara dua penyeru: penyeru pertama mengajaknya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta negeri akhirat; penyeru kedua mengajaknya kepada dunia. Ia akan menyambut seruan yang pintunya paling dekat kepadanya dan yang lebih dekat bertetangga dengannya. (Diringkas dari keterangan Ibnul Qayyim t)
Tentang kalbu yang mati, Ibnul Qayyim menyebutnya kering dan mati. Ia adalah kalbu yang tiada kehidupan padanya. Ia tidak mengenal Rabbnya, tidak mengibadahi-Nya dengan perintah-Nya, hal-hal yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Ia justru senantiasa berdampingan dengan nafsunya dan kelezatannya walaupun mengandung kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Dia tidak akan peduli selama syahwat dan bagiannya terpenuhi. Allah Subhanahu wa ta’ala ridha atau murka (ia tidak peduli). Dia telah menghambakan dirinya kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala dengan cinta, takut, harap, ridha, marah, pengagungan dan penghinaan dirinya.
Kalau dia mencintai, maka cinta itu demi nafsunya. Kalau dia membenci, benci itu demi nafsunya pula. Kalau ia memberi, ia memberi demi nafsunya, sedangkan kalau ia tidak memberi, pun karena nafsunya. Hawa nafsunya lebih ia utamakan dan lebih ia cintai daripada Rabbnya. Hawa nafsu menjadi pemimpinnya. Syahwat menjadi pemandunya. Kebodohan menjadi pengemudinya. Kelalaian menjadi tunggangannya. Pikirannya terbenam dalam usaha memperoleh kepentingan-kepentingan duniawinya, tertutup oleh mabuk cinta nafsu dan dunia.
Dari jauh ia diseru menuju Allah Subhanahu wa ta’ala dan negeri akhirat, namun tidak mau menyambut seruan sang penasihat yang berkeinginan baik. Ia justru mengekor di belakang setiap setan yang durhaka. Dunialah yang membuatnya cinta atau benci. Nafsulah yang membuatnya tuli dan buta selain kepada kebatilan….
Berbaur dengan pemilik kalbu ini adalah penyakit. Bergaul dengannya adalah racun. Duduk-duduk bersamanya adalah kebinasaan. (Ighatsatul Lahafan)
Pemilik kalbu ini tidak akan selamat. Pemilik kalbu yang sakit dekat kepada kehancuran. Tidak ada yang benar-benar selamat di hari kiamat selain pemilik kalbu yang salim, yang datang kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengannya,
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, melainkan orang-orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang bersih.”(asy-Syu’ara: 88—89)
Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kekokohan dalam agama ini, dan agar bertekad untuk selalu terbimbing. Aku juga memohon untuk bersyukur atas nikmat-Mu, kebaikan dalam ibadah kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu kalbu yang selamat dan lisan yang jujur. Aku memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau ketahui, serta berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampunan atas dosa yang Engkau ketahui.” (Sahih, HR. an-Nasa’i, lihat ash-Shahihah no. 3228)
Tentu sangat pantas bagi kita untuk senantiasa memanjatkan doa ini. Al-Hasan t mengatakan,
“Obatilah kalbumu. Sesungguhnya, kebutuhan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya itu dalam hal kebaikan kalbunya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Macam-Macam Jiwa
“Sesungguhnya, jiwa itu satu. Akan tetapi, jiwa tersebut memiliki beberapa sifat sehingga diberi nama ditinjau dari tiap-tiap sifatnya.” (ar-Ruh, Ibnul Qayyim t)
“Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyifati jiwa dalam al-Qur’an dengan tiga sifat: al-muthma’innah, al-ammarah bis su’, dan al-lawwamah.” (Ighatsatul Lahafan)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
“Hai jiwa yang tenang (al-muthma’innah), kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”(al Fajr: 27—30)
Jiwa yang muthma’innah adalah yang tenteram menuju Rabbnya, tenteram dengan berzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan tenang ketika dekat dengan-Nya. Jiwa itulah yang dipanggil saat wafatnya,
“Hai jiwa yang tenang (al-muthma’innah). Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27—28)
Ibnu Abbas c menafsirkannya, “Maksudnya, yang membenarkan.”
Qatadah t mengatakan, “Jiwanya tenteram dengan janji Allah Subhanahu wa ta’ala.”
Hakikat ketenteraman adalah ketenangan dan kemapanan. Dia tenang menuju Rabbnya dan taat kepada-Nya, mengikuti perintah-Nya, dan selalu mengingat-Nya. Ia tidak merasa tenteram kepada selain-Nya, namun tenteram dengan cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, serta mengingat-Nya. Ia tenteram dengan perintah-Nya, larangan-Nya, dan berita-Nya.
Ia tenteram dengan perjumpaan dengan-Nya dan janji-Nya. Ia pun tenteram dengan mengimani hakikat nama-nama dan sifat-Nya, tenteram dengan ridha kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul. Ia tenteram dengan qadha dan qadar-Nya, tenteram dengan perlindungan dan jaminan-Nya. Jiwa tersebut tenteram dengan keyakinan-Nya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah satu-satu-Nya Rabbnya, sesembahannya, tujuan ibadahnya, Penguasanya, yang mengurusi segala urusannya, dan ke sanalah tempat kembalinya, serta ia tidak dapat lepas darinya walau sekejap mata.
Adapun jiwa ammarah bis-su’, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Ammarah bis-su’, yakni yang sering memerintahkan kepada yang jelek. Jadi, jiwa ini memiliki sifat yang berlawanan dengan jiwa yang muthma’innah. Jiwa ini memerintahkan pemiliknya sesuai dengan kemauan nafsunya. Nafsu yang melampaui batas, mengikuti yang batil. Ia menjadi tempat mangkal setiap kejelekan. Kalau pemiliknya tunduk kepadanya, ia akan memerintahnya kepada setiap yang jelek.
Adapun jiwa lawwamah, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri (al-lawwamah).” (al-Qiyamah: 2)
Sa’id bin Jubair t pernah bertanya kepada Ibnu Abbas c, “Apa maksudnya lawwamah?” Beliau menjawab, “Yaitu jiwa yang selalu mencela dirinya.”
Mujahid t mengatakan, “Yaitu jiwa yang menyesali apa yang telah berlalu dan mencela dirinya karena itu.”
Ibnu Abbas c mengatakan juga, “Setiap jiwa akan mencela dirinya pada hari kiamat. Jiwa yang baik mencela dirinya karena tidak memperbanyak berbuat baik. Adapun jiwa yang jelek mencela dirinya karena tidak kembali dari kejelekannya.”
Al-Hasan t mengatakan, “Sesungguhnya, seorang mukmin—demi Allah—engkau tidak melihatnya melainkan dia mencela dirinya dalam segala kondisi. Ia menganggapnya kurang dalam segala hal yang diperbuatnya sehingga ia menyesali dan mencela dirinya. Adapun orang yang jahat, dia akan terus berlalu tanpa mencela dirinya.” (Ighatsatul Lahafan)
Ibnul Qayyim t berkata, “Bisa jadi, sebuah jiwa terkadang menjadi jiwa yang ammarah, terkadang menjadi jiwa yang lawwamah, dan terkadang menjadi jiwa yang muthma’innah. Bahkan, dalam satu waktu dan satu saat, penilaian terhadap jiwa tersebut tergantung pada apa yang dominan menguasainya. Sifat muthma’innah adalah pujian dan ammarah bis-su’ adalah sifat tercela. Adapun lawwamah mengandung sifat pujian dan celaan, tergantung kepada jiwa itu, apa yang disesali dan dicelanya? (Ighatsatul Lahafan)
Keutamaan Jiwa yang Suci
Memiliki jiwa yang suci adalah karunia besar dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Jiwa itulah yang pantas meraih surga-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (an-Nazi’at: 40—41)
“(Yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (Thaha: 76)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia beribadah.” (al-A’la: 14—15)
As-Sa’di t mengatakan, “Sungguh, telah menang dan beruntung seseorang yang menyucikan dan membersihkan jiwanya dari syirik, kezaliman, dan akhlak yang jelek.”
Kesucian yang ia upayakan keuntungannya tidak lain kembali kepada dirinya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Kepada Allah-lah kembali (mu).”(Fathir: 18)
Ibnu Katsir t mengatakan, “Maksudnya, barang siapa yang beramal saleh, manfaatnya akan kembali kepada dirinya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
As-Sa’di t menafsirkan, “Barang siapa yang menyucikan dirinya dengan membersihkannya dari aib, seperti riya, sombong, dusta, curang, makar, menipu, kemunafikan, dan akhlak hina yang sejenisnya, lantas dia hiasi dirinya dengan akhlak yang indah seperti jujur, ikhlas, tawadhu’, lunak, suka menasihati sesama, bersihnya dada dari iri, dengki dan akhlak buruk selain keduanya, manfaat penyucian dirinya akan kembali kepadanya. Tujuannya akan sampai kepadanya. Amalannya tidak akan hilang sedikit pun.
Sementara itu, jiwa yang kotor pantasnya bertempat di neraka.
“Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 10)
As-Sa’di t mengatakan, “Maksudnya, mengotorinya dengan akhlak yang rendah, mendekatkannya kepada aib, melakukan dosa-dosa, meninggalkan sesuatu yang menyempurnakannya dan mengembangkannya, serta melakukan sesuatu yang membuatnya jelek dan kotor.” (Tafsir as-Sa’di)
Lihatlah bagaimana nasib pemilik jiwa yang tidak diberi kesucian oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah). Mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya kecuali api. Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (al-Baqarah: 174)
Maksudnya, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyucikan mereka dari akhlak yang rendah, dan mereka tidak memiliki amal saleh yang pantas untuk dipuji, diridhai, dan diberi balasan. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyucikan mereka karena mereka melakukan hal-hal yang menyebabkan ketidaksucian. Di antara sebab kesucian yang terbesar adalah mengamalkan kitabullah, menelusuri bimbingannya, dan mengajak kepadanya. Akan tetapi, mereka justru menyingkirkan kitabullah, berpaling darinya, memilih kesesatan daripada petunjuk, dan memilih siksa daripada ampunan. Tidak ada yang pantas bagi mereka selain neraka. Bagaimana mereka akan bersabar di neraka dan bagaimana mereka akan sanggup menahan siksanya? (Tafsir as-Sa’di)
Sumber :
Hubungan Jiwa dengan Kalbu
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 079
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Sikap Seorang Muslim Terhadap Dukun




Profesi dukun banyak bertebaran di sekitar kita. Mereka mengklaim bisa membantu urusan manusia dalam banyak hal, mulai dari mencari kesembuhan sampai meluluskan berbagai hajat. Bolehkah kita meminta tolong pada dukun?

Hukum mendatangi dukun secara umum adalah haram sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْءٍ. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا بِالشَّيْءِ فَيَكُونُ حَقًّا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُونَ فِيْهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata: Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah tentang dukun-dukun. Rasulullah berkata kepada mereka: "Mereka tidak (memiliki) kebenaran sedikitpun." Mereka (para shahabat) berkata: "Terkadang para dukun itu menyampaikan sesuai dan benar terjadi." Rasulullah menjawab: "Kalimat yang mereka sampaikan itu datang dari Allah yang telah disambar (dicuri, red) oleh para jin, lalu para jin itu membisikkan ke telinga wali-walinya sebagaimana berkoteknya ayam dan mereka mencampurnya dengan seratus kedustaan." (HR. Al-Bukhari no. 5429, 5859, 7122 dan Muslim no. 2228)
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي حَدِيْثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ، وَإِنَّ مِنَّا رِجَالاً يَأْتُونَ الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ. قَالَ: قُلْتُ: وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ. قَالَ: ذَلِكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلاَ يَصُدَّنَّهُمْ

Mu'awiyah ibnul Hakam As-Sulami radhiyallahu 'anhu berkata: Aku berkata: "Wahai Rasulullah, saya baru masuk Islam yang datang dari sisi Allah, dan sesungguhnya di antara kami ada yang suka mendatangi para dukun." Beliau bersabda, "Jangan kalian mendatangi para dukun." Dia (Mu'awiyah ibnul Hakam) berkata: Aku berkata: "Di antara kami ada yang gemar melakukan tathayyur (percaya bahwa gerak-gerik burung memiliki pengaruh pada nasib seseorang." Beliau berkata: "Demikian itu adalah sesuatu yang terlintas dalam dada mereka, maka janganlah menghalangi mereka dari aktivitas mereka (untuk berangkat -pen/yakni gerakan burung itu jangan menghalangi orang-orang tersebut untuk berbuat sesuatu -ed)." (HR. Muslim, no. 735)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

Diriwayatkan dari sebagian istri Rasulullah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, yang artinya: "Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam."
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَنَ الْكَلْبِ وَمَهْرَ الْبَغْيِ وَحُلْوَانَ الْكَاهِنِ

Dari Abu Mas'ud Al-Badri radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang memakan harga anjing (keuntungan dari menjual anjing -ed), hasil pelacuran dan hasil perdukunan." (HR. Al-Bukhari no. 5428, dan Muslim no. 1567)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فِيْمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa-apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 2006, dinukil dari Al-Qaulul Mufid)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin mengatakan: "Dari hadits ini diambil hukum haramnya mendatangi dan bertanya kepada mereka (dukun) kecuali apa-apa yang dikecualikan dalam masalah ketiga dan keempat (sebagaimana pada paragraf selanjutnya -red). Sebab dalam mendatangi dan bertanya kepada mereka terdapat kerusakan yang amat besar, yang berakibat mendorong mereka untuk berani (mengerjakan hal-hal perdukunan -red) dan mengakibatkan manusia tertipu dengan mereka, padahal mayoritas mereka datang dengan segala bentuk kebatilan." (Al-Qaulul Mufid, 2/64)

Adapun jawaban secara rinci tentang hukum mendatangi para dukun dan bertanya kepada mereka adalah:

1. Mendatangi mereka semata-mata untuk bertanya. Ini adalah perkara yang diharamkan sebagaimana dalam hadits:

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa-apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad."

Penetapan adanya ancaman dan siksaan karena bertanya kepada mereka, menunjukkan haramnya perbuatan itu, sebab tidak datang sebuah ancaman melainkan bila perbuatan itu diharamkan.

2. Mendatangi mereka lalu bertanya kepada mereka dan membenarkan apa yang diucapkan. Ini adalah bentuk kekufuran karena membenarkan dukun dalam perkara ghaib termasuk mendustakan Al-Qur`an. Allah berfirman:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

"Katakan bahwa tidak ada seorangpun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan."
 (An-Naml: 65)

3. Mendatangi mereka dan bertanya dalam rangka ingin mengujinya, apakah dia benar atau dusta. Hal ini tidak mengapa dan tidak termasuk ke dalam hadits di atas. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau bertanya kepada Ibnu Shayyad:
مَاذَا خَبَأْتُ لَكَ؟ قَالَ: الدُّخُّ. فَقَالَ: اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ

"Apa yang aku sembunyikan buatmu?" Ibnu Shayyad berkata: "Ad-dukh (asap)." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Diam kamu! Kamu tidak lebih dari seorang dukun."
 (HR. Al-Bukhari no. 1289 dan Muslim no. 2930)

4. Mendatangi mereka lalu bertanya dengan maksud membongkar kedustaan dan kelemahannya, menguji mereka dalam perkara yang memang jelas kedustaan dan kelemahannya. Hal ini dianjurkan bahkan wajib hukumnya. (Al-Qaulul Mufid, Ibnu 'Utsaimin, 2/60-61, Al-Qaulul Mufid Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushshabi, hal. 140-143)

Dukun, Penciduk Agama dan Harta

Tidak ada keraguan bagi orang yang telah menikmati ilmu As Sunnah dan tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi mereka tentang kejahatan para dukun dan tukang ramal. Mereka adalah para penciduk agama dan juga harta.

Penciduk agama artinya mereka telah merusak keyakinan kaum muslimin khususnya dalam masalah ilmu ghaib. Bahkan dengan sebab mereka, seseorang bisa menjadi kafir keluar dari agama. Mereka adalah perusak salah satu prinsip agama bahkan pondasi keimanan yaitu beriman dengan perkara yang ghaib, karena perkara ghaib ilmunya hanya milik Allahsubhanahu wa ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

"Itulah Al-Kitab yang tidak ada keraguan padanya menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa yaitu orang-orang yang beriman dengan perkara yang ghaib."
 (Al-Baqarah: 2-3)
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

"Katakan: Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan."
 (An-Naml: 65)
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ

"Allah tidak memperlihatkan kepada kalian hal-hal yang ghaib."
 (Ali 'Imran: 179)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ

"Di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri."
 (Al-An'am: 59)
فَقُلْ إِنَّمَا الْغَيْبُ لِلَّهِ

"Maka katakanlah: Sesungguhnya yang ghaib itu hanya kepunyaan Allah."
(Yunus: 20)
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman."
 (Al-A'raf: 188)

Dari Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ: لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا فِي غَدٍ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي اْلأَرْحَامِ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وَلاَ تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْمَطَرُ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ اللهُ

"Kunci-kunci perkara ghaib itu ada lima dan tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok kecuali Allah; tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah; tidak ada satu jiwapun mengetahui apa yang akan diperbuatnya besok; tidak mengetahui di negeri mana (seseorang) meninggal kecuali Allah; tidak ada yang mengetahui kapan turunnya hujan melainkan Allah; dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah."
 (HR. Al-Bukhari no. 992, 4351, 4420, 4500, 6944 dan Ahmad, 2/52)
Adapun sebagai gerombolan penciduk harta artinya mereka melakukan penipuan terhadap umat sehingga betapa banyak harta hilang dengan sia-sia dan termakan penipuan mereka. Betapa banyak harta terkorbankan karena kedustaan para dukun, sementara persoalan setiap orang yang datang kepada mereka tidak juga tuntas dan tidak terjawab. Persyaratan demi persyaratan datang silih berganti mulai dari tingkat yang paling kecil sampai tingkat yang paling besar, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Persyaratan itu harus terpenuhi sehingga umat pun berusaha untuk memenuhinya. Mereka masuk dalam peringkat pertama sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

"Barangsiapa menipu kami maka dia tidak termasuk (golongan) kami."
(HR. Muslim)

Sikap Ahlus Sunnah terhadap Dukun

Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi menyebutkan akidah Ahlus Sunnah terhadap dukun dalam kitab beliau Al-'Aqidah Ath-Thahawiyyah: "Kita tidak boleh membenarkan dukun dan tukang ramal, dan tidak boleh membenarkan orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah dan ijma'."

Ibnu Abi 'Izzi mengatakan: "Wajib bagi pemerintah dan orang yang memiliki kesanggupan untuk melenyapkan para dukun dan tukang ramal serta permainan-permainan sihir sejenisnya seperti menggunakan garis di tanah atau dengan kerikil atau undian. Dan mencegah mereka untuk duduk-duduk di jalan dan memperingatkan mereka supaya jangan masuk ke rumah-rumah orang. Cukuplah bagi orang yang mengetahui keharamannya lalu dia tidak berusaha melenyapkannya padahal dia memiliki kesanggupan, (cukup baginya) firman Allah:
كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

"Mereka tidak saling mengingkari perbuatan mungkar yang telah mereka kerjakan, amat buruklah apa yang telah mereka perbuat."
 (Al-Maidah: 79) (Syarah Al-'Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 342)

Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi) berkata: "Kaum muslimin tidak boleh shalat di belakang mereka (para dukun) dan tidak sah shalat di belakang mereka. Bila seseorang kemudian mengetahui hal itu hendaklah dia meminta ampun kepada Allah dan mengulangi shalatnya." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/394). Wallahu a'lam.

Sumber: Majalah Asy-Syari'ah Vol. II/ No. 16/1426 H/2005, halaman 34 - 37
.

Menjadi Orang Asing dan Musafir di Dunia ini


Penulis: Syaikh Shalih bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhohulloh
Diterjemahkan dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 40. Oleh: Abu Fatah Amrulloh
Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar
Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”. Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)

Penjelasan
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi nasihat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Hadits ini dapat menghidupkan hati karena di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, masa muda, masa sehat, umur dan sebagainya.


“Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).”

Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan pada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu (HR. Al-Bukhariy no.6416)

Seorang mukmin hidup di dunia ibaratnya seperti orang asing atau musafir. Suatu permisalan yang penuh makna dan pesan yang agung.

Para ‘ulama menjelaskan hadits ini dengan mengatakan, “Janganlah engkau condong kepada dunia; janganlah engkau menjadikannya sebagai tempat tinggal (untuk selama-lamanya -pent); janganlah terbetik dalam hatimu untuk tinggal lama padanya; dan janganlah engkau terikat dengannya kecuali sebagaimana terikatnya orang asing di negeri keterasingannya (yakni orang asing tidak akan terikat di tempat tersebut kecuali sedikit sekali dari sesuatu yang dia butuhkan, pent.); dan janganlah engkau tersibukkan padanya dengan sesuatu yang orang asing yang ingin pulang ke keluarganya tidak tersibukkan dengannya; dan Allah-lah yang memberi taufiq.”

Permisalan Seorang Mukmin di Dunia

Inilah permisalan yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah kenyataannya. Karena sesungguhnya seseorang di dunia ibaratnya seorang musafir. Maka dunia bukanlah tempat tinggal yang tetap (selama-lamanya). Bahkan dunia itu sekedar tempat lewat yang cepat berlalunya. Orang yang melewatinya tidak pernah merasa letih baik malam maupun siang hari.

Adapun seorang musafir biasa, kadang-kadang dia singgah di suatu tempat lalu dia bisa beristirahat. Akan tetapi musafir dunia (yakni permisalan orang-orang yang beriman di dunia, pent.) tidak pernah singgah, dia terus-menerus dalam keadaan safar (perjalanan). Berarti setiap saat dia telah menempuh suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat.
Maka bagaimana sangkaanmu terhadap suatu perjalanan yang pelakunya senantiasa berjalan dan terus bergerak, bukankah dia akan sampai ke tempat tujuan dengan cepat? Tentu, dia akan cepat sampai. Karena inilah Allah Ta’ala menyatakan,

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Naazi’aat:46)

Orang mukmin ketika hidup di dunia, kedudukannya seperti orang asing. Maka hatinya pun tidak akan terikat dengan sesuatu di negeri keterasingannya tersebut. Bahkan hatinya terikat dengan tempat tinggal (negerinya) yang dia akan kembali kepadanya. Dan dia menjadikan tinggalnya di dunia hanya sekedar untuk menunaikan kebutuhannya dan mempersiapkan diri untuk kembali ke negerinya. Inilah keadaan orang yang asing.

Atau bahkan seorang mukmin itu seperti musafir yang tidak pernah menetap di suatu tempat tertentu. Bahkan dia terus-menerus berjalan menuju tempat tinggalnya.
Maka seorang mukmin hidup di dunia ini ibaratnya seperti seorang hamba yang ditugaskan oleh tuannya untuk suatu keperluan ke suatu negeri. Hamba tersebut tentunya ingin bersegera melaksanakan apa yang ditugaskan oleh tuannya lalu kembali ke negerinya. Dan dia tidak akan terikat dengan sesuatu kecuali apa yang ditugaskan oleh tuannya.

Keadaan Orang Asing dan Musafir

Hadits mengenai ‘orang asing dan musafir’ selengkapnya diriwayatkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu adalah sebagai berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).” Lalu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Bukhariy no.6416)

Al-Imam Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf di dalam Syarh Al-Bukhariy, menjelaskan mengenai hadits ini, “Penjelasannya adalah bahwa orang asing biasanya sedikit berkumpul dengan manusia sehingga terasing dari mereka. Karena hampir-hampir dia tidak pernah melewati orang yang dikenalnya dan diakrabinya serta orang-orang yang biasanya berkumpul dengannya. Sehingga dia pun merasa rendah diri dan takut.

Demikian pula dengan seorang musafir. Dia tidak melakukan perjalanan melainkan sekedar kekuatannya. Dan dia pun hanya membawa beban yang ringan agar tidak terbebani untuk menempuh perjalanannya. Dia tidak membawa apa-apa kecuali hanya sekedar bekal dan kendaraan sebatas yang dapat menyampaikannya kepada tujuan.

Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud terhadap dunia dimaksudkan agar dapat sampai kepada tujuan dan mencegah kegagalan. Seperti halnya seorang musafir. Dia tidak membutuhkan membawa bekal yang banyak kecuali sekedar apa yang bisa menyampaikannya ke tempat tujuan.

Demikian pula halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan di dunia ini. Dia tidak membutuhkan banyak bekal kecuali hanya sekedar bekal untuk mencapai tujuan hidupnya yakni negeri akhirat.”

Dia tidak mengambil bagian dari dunia ini kecuali apa-apa yang bisa membantunya untuk taat kepada Allah dan ingat negeri akhirat. Hal inilah yang akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat.

Berkata Al-’Izz ‘Ila`uddin bin Yahya bin Hubairah, “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kita menyerupai orang asing. Karena orang asing itu apabila memasuki suatu negeri, dia tidak mau bersaing dengan penduduk pribumi. Dan tidak pula berbuat sesuatu yang mengejutkan sehingga orang-orang melihat dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Misalnya dalam berpakaian. Sehingga dia pun tidak bermusuhan dengan mereka. Tentunya selama dalam batasan syar’i.

Demikian pula halnya dengan seorang musafir. Dia tidak merasa perlu mendirikan rumah permanen dalam perjalanannya (kalau seorang mukmin di dunia cukup memiliki sebuah rumah untuk sekedar sebagai sarana pendukung dalam menyempurnakan ibadahnya, red). Dan dia menghindari perselisihan dengan manusia karena dia ingat bahwa dia tinggal bersama mereka hanyalah untuk sementara waktu saja.

Maka setiap keadaan orang asing ataupun seorang musafir adalah baik bagi seorang mukmin untuk diterapkan dalam kehidupannya di dunia. Karena dunia bukanlah negerinya, juga karena dunia telah membatasi antara dirinya dengan negerinya yang sebenarnya (yakni negeri akhirat).”

Demikianlah sikap yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Dia tidaklah berlomba-lomba dan bersaing dalam masalah dunia sebagaimana orang asing. Dan juga tidak berniat tinggal seterusnya di dunia sebagaimana seorang musafir.

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar mengasihi kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang zuhud terhadap dunia, aamiin. Wallaahu A’lam.

Sumber : Buletin Da’wah Al Wala Wal Bara’, Bandung (mengalami peringkasan dan edit tanpa merubah makna, insya Allah)
Maraaji’: Syarh Riyaadhish Shaalihiin 2/193-194, Maktabah Ash-Shafaa, Al-Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.351, Syarh Al-Arba’iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.104-107, At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Na
wawiyyah hal.107-108.